Selepasmenyelesaikan kuliah akuntansi di Malang, Jawa Timur, pada 2019, ia kembali ke Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur. Saat itulah ia mulai mencoba nyemplung ke bisnis suvenir mengandalkan tradisi lukis di atas kulit kayu dari keluarganya. Titik keberangkatan bisnisnya juga bukan sekadar keputusan impulsif. Ide itu sudah ia simpan sejak
keduanyamerupakan kabupaten di Jawa Timur. Menurut para sejarahwan, canting yang digunakan sebagai alat batik tulis, pertama kali digunakan di Kediri, Jawa Timur. Melalui dasar historis tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekayaan budaya batik di Jawa Timur memiliki nilai estetika yang tinggi karena mengandung beragam nilai historis yang dapat
Koropakco.id, Jawa Barat - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Bekasi terus melakukan sejumlah persiapan untuk menyukseskan penyelenggaraan SMSI Award 2022 yang akan dilaksanakan di District 1 Meikarta Cikarang, Kabupaten Bekasi, 15 Agustus 2022.. Kegiatan yang masuk dalam rangkaian Hari Jadi ke-72 Kabupaten Bekasi itu sekaligus
22 Asal-usul Wayang Wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang temasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats,
DinarYusnia C. J. 01.33. KARYA seni yang ditampilkan peserta lomba cipta seni pelajar dan festival musik tradisi/ karawitan se Jawa Timur dengan ide dasar budaya khas daerah masing masing, sangat bagus dan menambah kekayaan budaya di tanah air. “Olah kreasi seni yang ditunjukkan peserta sangat membanggakan, ini menunjukkan jati diri budaya
Pertamakali menulis dengan media bahasa Indonesia pada tahun 1952 di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia.Tulisannya itu merupakan artikel, sedangkan karyanya yang berbentuk sastra pertama kali muncul di majalah Garuda Jakarta tahun 1953 tanpa diberi imbalan. Tahun 1953 itu pula tulisannya terbit di majalah Kisah dengan imbalan Rp. 60.
Pyzin65. Asal-Usul Wayang Jawa Timuran Istilah wayang Jawa Timuran ialah konvensi pertunjukan wayang Kulit di wilayah Brangwetan artinya di seberang timur daerah aliran Sungai Brantas yang secara geografis mengacu pada wilayah pusat pemerintahan Majapahit tempo dulu. Daerah yang dimaksudkan adalah Kabupaten Mojokerto, Jombang, Surabaya Kodya, eks karisedenan Malang Malang, Pasuruhan, Probolinggo dan Lumajang. Istilah Jawatimuran ini diperkirakan muncul sesudah tahun 1965 dan semakin populer sekitar tahun 1970 –an seiring dengan didirikannya Pendidikan Formal Sekolah Karawitan Konservatori Surabaya. Tentang istilah yang digunakan untuk menyebut seni pedalangan atau pewayangan di Jawa Timur, sebenarnya di Surabaya khususnya, telah memiliki istilah yang telah lama popular yaitu dengan penyebutan Wayang Jekdong suatu istilah yang bersumber dari bunyi kepyak =Jeg yang berpadu dengan bunyi kendhang bersama Gong Gedhe. Ada lagi yang menyebut Wayang Dakdong bunyi kendhang dengan bunyi gong besar, yang terjadi ketika sang dalang melakukan kabrukan tangan berantem di awal adegan perangan. Namun istilah tersebut tak bisa merata di seluruh kawasan etnis Jawa Timuran di luar kota Surabaya karena sebutan tadi timbul bukan dari para seniman dalang itu sendiri tapi dimungkinkan istilah lama itu timbul dari suara penonton, konon istilah ini dilansir oleh dalang terkenal Ki Nartosabdo. Justru bagi dalang yang lebih tua, mendengar sebutan wayang jekdong atau dakdong merasa direndahkan diejek. Dilihat dari bahan, peralatan, maupun pertunjukannya secara fungsional tidak berbeda jauh dengan Seni Pedalangan versi daerah lain Surakarta, Yogjakarta. Namun secara detail terdapat perbedaan baik seni rupa wayang, karawitan, cerita maupun penampilan yang bersifat kedaerahan Secara teritorialnya Seni Pedalangan Jawatimuran dapat dibagi menjadi 4 versi kecil yakni Versi Lamongan meliputi Kabupaten Lamongan dan sekitarnya, sering disebut gaya pasisiran . Versi Mojokertoan, meliputi Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto dan sekitarnya. Versi Porongan, meliputi daerah Kabupaten Sidoarjo, Surabaya dan sekitarnya. Versi Malangan, meliputi Kabupaten Malang dan sekitarnya. Ke-4 versi tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda, namun perbedaannya sangat kecil, kecuali versi Malangan yang terpengaruh oleh kesenian topeng yang gamelan menggunakan nada pelog. Ciri Wayang Jawatimuran Menurut Jumiran Ranta Atmaja, ada enam ciri khas wayang Jawatimuran yakni Dalam pergelaran wayang kulit gagrag Jawatimuran mempunyai karakteristik tersendiri dengan memiliki empat jenis pathet, yaitu pathet Sepuluh 10, pathet Wolu 8, pathet Sanga 9, dan pathet Serang, sedangkan di Jawa Tengah lazim mengenal tiga pathet, yaitu pathet Nem 6, pathet Sanga 9, dan pathet Manyura. Fungsi kendang dan kecrek sebagai pengatur irama gending amat dominan. Kultur wayang Jawa Timuran dipilah dalam beberapa subkultur yang lebih khas, mengacu ke estetika etnik keindahan tradisi lokal yakni subkultur Mojokertoan, Jombangan, Surabayan, Pasuruhan dan Malangan. Konvensi pedalangan Jawa Timuran hanya menyajikan dua panakawan yakni Semar dan Bagong. Konvensi ini taat pada cerita relief candi Jago Tumpang cerita Kunjarakarna, punakawan hanya dua Semar dan Bagong. Dalam seni tradisional yang lain, punakawan juga dua orang yakni Bancak dan Doyok atau cerita Damarwulan hanya dua yakni Sabdopalon dan Naya Genggong. Dalang Jawa Timuran tidak menyajikan adegan Gara-Gara secara khusus yakni munculnya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong pada tengah malam. Kemunculan punakawan dan adegan lawak disesuaikan dengan alur cerita atau lakon yang dipentaskan. Bahasa dan susastra pedalangan Jawa Timuran amat dominan didukung oleh bahasa Jawa dan dialek lokal Jawa Timuran. Maka munculah bentuk sapaan Jawa Timuran, misalnya arek-arek, rika, reyang. Pada awal pertunjukan ki dalang mengucapkan suluk Pelungan. Suluk Pelungan terkait dengan doa penutup pada adegan tancep yang diucapkan ki dalang yang isinya ki dalang memperoleh berkah dan keselamatan dalam menggelar kisah kehidupan para leluhur. pemilik hajat semoga dikabulkan permohonannya, niat yang suci/tulus dalam selamatan tersebut. Para pendukung pertunjukan wayang para pengrawit, biyada, dan sinoman serta semua penonton selalu rahayu, selamat sesudah pementasan tersebut berakhir Fungsi Wayang Kulit Jawatimuran Keberadaan wayang Jawa Timuran dapat bertahan hingga saat ini karena adanya beberapa faktor baik unsur internal maupun eksternal. Unsur internal meliputi para seniman pedalangannya baik dalang, nayaga maupun sinden. Sedang unsur eksternal adalah para penonton atau pendukung wayang kulit itu sendiri. Bertahannya pergelaran wayang kulit Jawa Timuran karena secara sosial masih fungsional. Keterkaitan antara unsur internal yang terdiri dari komunitas dalang dan para pendukungnya masih sangat kuat, sehingga keberadaan wayang sebagai sebuah anasir budaya masih dibutuhkan keberadaannya. Fungsi sosial wayang kulit Jawa Timuran masih terus bertahan mengikuti dinamika perkembangan zaman. Bagi masyarakat Jawa Timur, wayang masih dianggap penting diantaranya untuk ruwat sukerta, haul, sunatan, bersih desa dll. Dalang Sebagian besar dalang Gaya Jawa Timuran belajar dengan cara nyantrik’ kepada dalang senior, sekalipun ada beberapa dalang yang sebelum nyantrik belajar secara formal di sekolah atau membaca , namun untuk benar-benar terjun sebagai dalang Jawa Timuran masih diperlukan proses nyantrik. Profesi dalang merupakan pekerjaan untuk mencari nafkah, sehingga terjadi persaingan diantara para dalang. Maka sebelum tahun 1970 masih sering terjadi perang batin santet antar dalang. Namun mulai tahun 1989 setelah berdirinya Paripuja Paguyuban Ringgit Purwa Jawa Timuran yakni wadah untuk mempersatukan para dalang maka dalang mulai bersatu dan bersaing secara sehat. Dan secara rutin mengadakan pentas secara periodik. Wardono 4 Juni 2013. Perkembangan Wayang Jawatimuran Seni Pedalangan Jawa Timuran atau Wayang Jawa Timuran, pada masa sekarang masih hidup dan berkembang. Namun perkembangannya terbatas dalam kawasan etnis seni budaya daerah Jawa Timuran, di antaranya di wilayah Kabupaten Jombang, Mojokerto, Malang Pasuruan, Sidoardjo, Gresik, Lamongan dan di pinggiran kota pun sebagian besar berada di desa-desa, bahkan ada yang bertempat di pegunungan. Melihat daerah propinsi Jawa Timur yang begitu luas dan jumlah penduduk yang sangat padat itu, berarti kehidupan seni Pedalangan Jawa Timuran tersebut hanya berada dalam wilayah yang sangat sempit. Sedang arus kesenian dari daerah lain mengalir ke Jawa Timur dengan sangat derasnya, termasuk seni Pedalangan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Demikian pula seni budaya dari negara lain pun tidak ketinggalan hadir di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur begitu cepat dan mudah berkembang. Dengan masuknya seni budaya dari luar akan berpengaruh besar terhadap masyarakat untuk tidak mencintai seni budaya daerah setempat. Dalam hal ini terutama kesenian daerah Jawa Timur dengan mudah akan tersingkir, atau setidak-tidaknya akan menghambat kesenian daerah setempat di dalam pelestarian berikut pengembangannya. Menurut Jumiran Rantaatmaja atas dasar pengaruh-pengaruh seperti tersebut diatas, maka tidak sedikit orang menyatakan bahwa hal itulah yang akan mempercepat proses kemunduran sementara orang mengkhawatirkan terhadap kepunahannya, bila tidak ada usaha-usaha pembinaan dari pihak yang berwenang atau yang merasa handarbeni. Hanya usaha pembinaan itulah yang diharapkan oleh para seniman dalang Jawatimuran, yang sebagian besar terjadi dari rakyat kecil. Pergelaran-pergelaran yang diadakan secara rutin patut kita junjung tinggi, namun hal ini belum merupakan suatu pelestarian, sebab sesuai pertunjukan tanpa ada bekas-bekasnya. Tak ada lagi pembicaraan, perenungan ataupun permasalahan apa-apa, lebih-lebih sampai pada pembinaan. Dalam pengembangan Wayang Jawatimuran terdapat berbagai kendala yang sifatnya internal yakni kurangnya keterbukaan diantara para dalang. Para dalang sangat tertutup untuk membicarakan pedalangan Jawatimuran baik cerita maupun unsur-unsur lainnya. Hal ini disebabkan antara lain, takut salah, dan takut ditiru orang lain karena berhubungan dengan ekonomi. Namun sejak tahun 1994 para dalang jawa Timuran mulai terbuka dan mau menggali informasi dan pada tahun 1990 an pemerintah sudah memfasilitasi kegiatan pewayangan lewat festival. Wardono 4 Juni 2013. Seiring munculnya televisi dan layar tancep tahun 1985 prekwensi pedalangan Jawa Timuran mengalami penurunan. Namun sejak tahu 1997 sejak reformasi prekwensi pedalangan Jawa Timuran mengalami peningkatan sangat tajam. Wardono 4 Juni 2013. Unsur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Timuran Cerita/Lakon Pada dasarnya pertunjukan wayang tidak dapat lepas dari lakon, karena lakonlah yang mengungkapkan hal ihwal perilaku utama itu sendiri Poespowardoyo 1978 119. Kata lakon berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata laku mendapat akhiran-an. Bentukan demikian dalam bahasa Jawa banyak jumlahnya,umpamanya tuju-an menjadi tujon, tuku-an menjadi tukon, babu-an menjadi babon, sendhu-an menjadi sendhon dan sebagainya Soediro satoto 1985 13 Menurut Bambang Murtiyoso, pengertian lakon dalam dunia pedalangan mempunyai makna yang berbeda-beda bergantung pada konteks pembicaraannya. Lakon dapat berarti tokoh utama pada peristiwa di dalam sebuah cerita yang disajikan. Pengertian lakon ini tersurat dalam pertanyaan lakone sapa lakonya siapa? Istilah lakon juga dapat berarti alur cerita, hal ini dapat diketahui dengan pertanyaan lakone kepriye lakonnya bagaimana ? Arti lain lakon adalah judul repertoar cerita yang disajikan, seperti yang terkandung dalam pertanyaan lakone apa? 199220. Bertitik tolak dari pengertian lakon di atas, sumber lakon yang dipakai dalam wayang Kulit Jawatimuran adalah Ramayana dan Mahabharata. Disamping itu juga berkembang Lakon Carangan, dan Carang Sedapur. Contoh lakon carangan seperti wahyu Saptorojo, Wahyu Makutharaja, Togog mBalelo, Wahyu Sidomukti. Wahyu Hidayatjati dll. Dalam wayang Jawa Timuran juga terdapat Lakon Jabur yakni menggabungkan lakon Mahabharata dengan cerita Menak yakni dalam lakon “Perkawinan Angkawijaya dengan Dewi Kuraisin”. Menurut Wisma Nugraha, kekhasan tradisi pakeliran gaya Jawa Timuran selain aspek bahasa dialeg Jawa Timuran adalah kekuatan tradisi lisannya.. Sebagian besar dalang Gaya Jawa Timuran belajar dengan cara nyantrik’ kepada dalang senior, sekalipun ada beberapa dalang yang sebelum nyantrik belajar secara formal di sekolah atau membaca, namun untuk benar-benar terjun sebagai dalang Jawa Timuran masih diperlukan proses nyantrik karena sumber lakon pakeliran gaya Jawa Timuran sebagian besar masih tersimpan di dalam dunia pergelaran lewat kuasa, memori dan sanggit dalang. Dari berbagai sumber lesan tersebut olek dalang Ki Surwedi dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah buku dengan judul “Layang Kandha Kelir” yang bersumber dari cerita lisan yang beredar di komunitas penggemar wayang kulit Gaya Jawatimuran yang telah melembaga 2010 ix Bahasa Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Jawatimuran tidak lepas dari bahasa Jawa Timuran , yang dianggap bukan Bahasa Jawa baku. Ciri khas Bahasa Jawa Timuran adalah egaliter, blak-blakan, dan seringkali mengabaikan tingkatan bahasa layaknya Bahasa Jawa Baku, sehingga bahasa ini terkesan kasar. Namun demikian, penutur bahasa ini dikenal cukup fanatik dan bangga dengan bahasanya, bahkan merasa lebih akrab. Bahasa Jawa Dialek Surabaya dikenal dengan Boso Suroboyoan. Seperti ora – nggak tidak sliramu - poro/riko kamu piye/dospundi - yak opo bagaimana dalan – embong jalan bocah-bocah - arek-arek anak-anak rampung – mari selesai kenopo – lapo kenapa arep nyangdi - kate ndi akan kemana teng – nang ke kidul – kedul mulih – moleh pulang kowe – kon kamu Sedang suara tokoh wayang biasanya disesuaikan dengan nada gamelan misalnya Janaka memakai nada 6 gedhe Puntadewa nada 2 Werkudara nada 3 atau 5 Nakula 5 Sadewa nada 1 tinggi Kresna nada 1 tinggi dan 6 kecil Dalam pertunjukan wayang Jawa Timuran ada tokoh-tokoh tertentu yang menggunakan basa wantilan berbeda dengan tokoh wayang yang ada di Surakarta seperti Drona Aco bopo, kaceplus, pindang bulus, enak encus, waluh gembol monyor-monyor, gedebog basah kunyur-kunyur. Sengkuni Sareran-sareran bejane, bubutan dowo, bok awur-awur. Narada Aco bopo, kedeklik bongla-bangle 2 x, anak putu kito, mangan jangan gude, gedhene sak gundul-gundul, biang semprong, mati kobong, legiya-legiye, mangan srebe entek sak tempek, uthuk uber-uber 2 x. Togog Korobeyang-korobeyung, budal neng gunung oleh-olehe kenthang sak karung, ketebar-ketebur, eh-eh. Semar Au sabar awir-owar, wayang wedok ndangak, e lae dikethok koyo lombok, di tugel koyo galeng, dirajang koyo brambang, diiris koyo tomis. Tingkatan bahasa yang digunakan dalam percakapan wayang kulit, menunjukan perbedaan derajat antara seorang anak terhadap orang tua atau sifat kaula terhadap gusti pengagung dan sebagainya seperti Bahasa ngoko yaitu bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang sebaya yang sudah akrap atau kepada orang yang lebih muda yang tidak sederajat. Bahasa madya yaitu bahasa ngoko yang kecampur dengan bahasa krama, digunakan untuk pergaulan denga orang yang belum akrab. Bahasa krama yaitu bahasa yang digunakan pada orang yang sebih dihargai, baik orang tua, pimpinan atau orang muda yang berderajat. Bahasa krama inggil yaitu bahasa halus untuk orang yang sangat dihargai, misalnya menghadap raja, pengagung dan sebagainya. Bahasa kedaton yaitu bahasa para sentana atau abdi keraton yang digunakan untuk dialog dengan sesama dihadapan seorang raja dalam keraton. Bahasa Kawi sansekerta yaitu bahasa yang sangat halus dan digunakan untuk tetembangan dan tembang suluk dalam adegan wayang Sabet Dalam wayang Jawatimuran terdapat beberapa sabet perang antara lain Perang dugangan/gagahan yakni perang antara Gatutkaca dengan tokoh sabrang. Dalam perang ini terdapat beberapa bentuk sabetan Gatutkaca yakni dali nyampar banyu, jagur dan Sikatan nyember walang. Perang alus digunakan untuk tokoh wayang bambangan Perang sidang atau perang penjalin pinentang seperti Arjuna dengan sabrang bagus Perang Tholi Thothit atau Perang Candu Cinukit yakni digunakan untuk perang Bagong dengan tokoh lain. Gending/lagu Struktur penggunaan gending dalam wayang Jawa Timuran Gending ayak 10 dalang mulai masuk panggung Dalang mulai memukul kotak, gending gandakusuma Kalau dalam adegan jejer ada tamu, gending gedog tamu Jebol panggung, gending sapujagat, gagak setro atau gedog rancak. Kalau raja sabrang gending jula-juli Ajar kayon, gending ayak Paseban Jobo, gending ayak arang Perang, ayak kerep dan alap-alap Goro-goro, gending norosolo, lambang, dudo bingung Begal buto, ayak Adegan kraton, gunungsare, jonjang, perkutut manggung, samirah, cokronegoro, luwung Perang, ayak songo, Serang, ayak serang. Seni Rupa Wayang Jawa Timuran Pengertian rupa wayang adalah wayang ditinjau dari sudut estetika seni rupa. Wayang merupakan ungkapan seni melalui bentuk, ukuran, komposisi, warna dan ornament-ornamen serta pola-pola dan model ragam hias tradisional yang diinspirasikan oleh cerita yang bersumber dari India seperti Mahabharata, Ramayana serta sumber-sumber ceritera lainnya. Dari sumber cerita wayang, lahirlah tokoh-tokoh berujud boneka dengan karakter tertentu, yang dibuat dari berbagai bahan antara lain kulit, kayu, kain, logam, tanduk dan ada juga kombinasi antara beberapa bahan. Sebagai sebuah karya seni, tokoh-tokoh itu dihias dengan ornament dan ragam hias yang khas dengan suatu teknik dan garapan seni yang tunduk pada kaidah-kaidah estetika seni rupa baik dalam bentuk, komposisi, ukuran dan warnanya. Bentuk dan corak wayang kulitnya condong pada gaya Yogyakarta, terutama wayang perempuan putren. Hal ini membuktikan bahwa sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, kebangkitan kembali wayang kulit Jawatimuran dimulai sebelum terjadinya perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Konon tercatat bahwa wayang gagrag Surakarta merupakan perkembangan kemudian setelah perjanjian Giyanti terlaksana. Ciri khas wayang kulit Jawatimuran yang mencolok terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala irah-irahan gelung yang dikombinasi dengan makutha topong atau kethu dewa. Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima dan Gathotkaca, yang di Jawa Tengah berwajah hitam atau kuning keemasan, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Jawatimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melambangkan watak angkara murka namun melambangkan watak pemberani. Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang Jawa Tengah memiliki pola penggambaran karakter wanda yang mirip dengan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimuran Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana atau Pragota. Perbedaan yang paling mencolok antara wayang Jawa Timuran dengan Solo atau Jogja adalah pada pewarnaan yang saling bertolak belakang. Jika Solo dan Jogja dominan menggunakan warna merah kekuningan dan menghindari hijau kebiruan namun justru wayang Jawa Timuran justru menggunakan warna yang dibenci’ dengan mengunggulkan warna biru, biru dengan aksen tersebut banyak tidak dipahami oleh penatah wayang Jawa Timuran maupun komunitas pedalangan. Padahal wayang pesisiran seperti yang pernah berkembang di Gresik, Surabaya, Lamongan, Sidoarjo dan sekitarnya umumnya berwarna hijau kebiruan. Selain segi pewarnaan terdapat perbedaan pada wayang Solo, Jogja atau Jawa Tengahan yang dilengkapi peran punakawan atas Semar, Petruk, Gareng dan Bagong maka pada wayang Jawa Timuran formasinya terdiri atas Semar, Bagong dan Besut. Disamping itu pada Wayang Jawa Timuran terdapat tokoh khas antara lain Klamat Harun pengikut tokoh kanan seperti Gatutkaca, Antarja, Anoman dll Mujeni dan Pak Mundu pengikut tokoh kiri bila tidak ada Togog dan Bilung Setiap kera bermata 2 meskipun Dewi Anjani Ciri khas seni rupa wayang Jawa Timuran lainnya dari anatomi tubuhnya, tatahan maupun sunggingan antara lain Dodot bermotif kawung Sampur depan ndugang Lubang mata lebih sipit dibanding gaya Solo Kumis seperti pancing Gelung tidak sambung Kalung ditatah bubukan Talipraba tumpuk dua Celana untu walang Pelemahan polos merah Tatahan lebih agal Ulur-ulur pecah tengah Wanda Wanda dapat ditafsirkan sebagai pengejawantahan melalui bentuk wayang yang menggambarkan dasar lahir batin dalam kondisi mental dasar dari pribadi tertentu dalam seni rupa wayang kulit purwa dilukiskan dengan pola-pola pada mata, hidung, mulut, warna wajah/muka, perbandingan dan posisi ukuran tubuh, dan juga oleh suaranya yang dibawakan oleh dalang Suasana batin/mental pada setiap watak dilukiskan melalui ekspresi raut muka/wajah, nuansa warnanya proporsi panjang garis yang menghubungkan titik-titik tertentu pada tubuh dan besarnya sudut-sudut tertentu. Namun bagi mereka yang baru mulai mempelajari hal ini , barangkali agak sulit juga untuk membedakan suasana-suasana batin ini satu demi satu. Secara sederhana, tingkat-tingkat suasana batin tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut lega atau berkenan merdika atau bebas/netral suka atau gembira/bahagia duka atau marah sungkawa atau sedih/muram. Dengan cara mengolah dan merubah nuansa-nuansa warna pada wajah sudut-sudut tertentu, proporsi setiap garis, pembuat wayang dapat menyalurkan maksudnya dalam mengekspresikan suasana batin dari pada watak dasar yang dimaksudkan. Ada pula sejenis wanda yang disebut wanda kaget wanda yang mengekspresikan rasa terkejut yang digunakan pada tokoh Baladewa,. Sayang sekali wanda ini tidak dibakukan secara pasti dan universal, sehingga perbedaan-perbedaan suasana batin ini hanya berlaku terbatas pada suatu kelompok tertentu, atau setidak-tidaknya pada beberapa kelompok dalam satu aliran/mazhab pedalangan. Menurut Wardono pada wayang kulit Jawa Timuran, hanya ada beberapa tokoh wayang yang mempunyai wanda antara lain Arjuna wanda mbethuthut susah dengan ciri-ciri muka agak tunduk lurus, warna muka hitam Arjuna wanda kemanten seneng dengan ciri-ciri muka agak ndangak, warna muka hitam Gatutkaca kedukan wedi/takut dengan ciri-ciri muka nunduk, jangkah agak lebar Dursasana wanda girap dengan ciri-ciri muka lurus, hidung besar, warna orange Baladewa wanda geger dengan ciri-ciri warna putih, kaki jangkah Daftar Pustaka Bambang Harsrinuksmo dkk, 1999 Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. Gorys Keraf Ekspedisi dan Deskripsi. Ende-Flores PT. Nusa Indah Gottschalk, Louis Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta UI Press. Mulyono, S Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta PT. Gunung Agung Murtiyoso, Bambang “Pertumbuhan Dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang” Laporan Penelitian Nanang Henri Riyanto “Wayang Timplong Nganjuk, Asal usul dan kehidupannya” .Skripsi Sutopo, 1988 “Teknik Pengumpulan Data dan Model Analisisnya dalam Penelitian Kualitatif”. Makalah Ceramah STSI Surakarta. Umar Kayam Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta Sinar Harapan. Surwedi 2010 Layang Kandha Kelir. Bantul Lembah Manah Surwedi 2007 Layang Kandha Kelir, Yogyakarta Bagaskara -Forlanda
– Iringan musik gamelan membuka pertunjukkan. Tak lama, tirai panggung tersibak, menampilkan latar layaknya di sebuah kerajaan di khayangan. Sekelompok penari wanita mengisi panggung, mengenakan kemben dipadu jarik, bersanggul dan riasan lengkap. Jari-jari lentik mereka menari di udara dengan selendang hijau terselip di antaranya. Tarian mereka membuka kisah pewayangan yang dipertunjukkan kepada ratusan khalayak di kursi penonton. Sesaat setelah tarian mereka usai, para pelakon yang dirias layaknya tokoh-tokoh pewayangan dengan kostum gemerlap, sesekali berkilau diterpa cahaya panggung, muncul ke tengah panggung. Dialog-dialog berbahasa Jawa krama mengalir di antara para pelakon. Babak demi babak berganti, hingga akhirnya sampai pula pada penghujung cerita. Penonton bersorak dan bertepuk tangan memuji para pelakon. Baca Juga Bertahan di Tengah Pagebluk, Para Seniman Wayang Orang Berteman dengan Teknologi Situasi di atas adalah penggambaran apa yang terjadi di dalam Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata yang berlokasi di Senen, Jakarta Timur. Tidak banyak yang tahu bahwa di antara riuhnya lalu lintas di Senen, terminal yang selalu ramai, pasar dan pusat perbelanjaan, hingga gedung-gedung hotel dan perkantoran, terdapat gedung pertunjukkan tersebut. Gedung pertunjukkan tersebut didirikan oleh para seniman pelestari kesenian wayang orang yang tergabung dalam Paguyuban Wayang Orang WO Bharata pada 5 Juli 1972. Setiap Sabtu malam hingga dini hari, gedung pertunjukkan tersebut ramai dipadati oleh penggemar kesenian wayang orang atau mereka rindu kampung halaman. Tentu saja, kebanyakan dari penonton adalah kaum sepuh—mereka yang bertumbuh besar dengan mendengar cerita-cerita pewayangan. Anak muda negeri semakin jauh dari seni tradisi warisan leluhur ini, kesadaran tentang pelestarian tradisi adiluhung kekayaan negeri sejatinya harus kembali dibangkitkan kembali. Baca Juga Kompetisi Desain Pelestarian Budaya Indonesia Mengabadikan Budaya Lewat Sentuhan Digital Globalisasi dan arus digital yang masif, menjadi tantangan tersendiri bagi para seniman dalam melestarikannya. Survei Indonesia Millennial Report 2019 menemukan, setidaknya 94,4 persen milenial Indonesia berusia 20-35 tahun telah terkoneksi internet. Melalui digitalisasi pula, berbagai informasi dapat lebih mudah diakses secara lebih luas. Begitu juga dengan interaksi masyarakat dan hiburan, berbagai media sosial maupun layanan streaming online mulai bermunculan. Masifnya arus budaya barat membuat kesenian yang menjadi jati diri bangsa tergerus. Hiburan tradisional seperti pertunjukan Wayang Orang harus berjuang habis-habisan untuk mengimbangi kencangnya perkembangan zaman. Baca Juga Sutan Muhammad Amin, Salah Satu Tokoh Sumpah Pemuda yang Berjasa Kondisi ini pun sempat diungkapkan oleh seniman wayang orang sekaligus sutradara Wayang Orang Bharata Teguh “Kenthus” Ampiranto. Ia mengatakan, antusiasme anak muda dalam melestarikan kebudayaan wayang orang lebih banyak didominasi secara turun temurun. “Biasanya mengajak anak-anak bergabung itu dengan cara mengingatkan, kalau kami dan para anak bisa hidup dari melestarikan wayang orang,” kata Kenthus. Di kalangan keluarga seniman, nilai-nilai luhur dan pakem penceritaan wayang orang diturunkan sehingga generasi seniman muda tercipta. Namun, agar dapat bertahan di tengah masyarakat, beragam penyesuaian harus dilakukan. Beradaptasi untuk melampaui zaman Wayang orang adalah kesenian yang eksistensinya melampaui zaman. Dikutip dari laman Geonusantara, wayang orang atau dikenal dengan istilah wayang wong dalam bahasa Jawa, pertama kali muncul di abad ke-18, tepatnya diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731 di kota Solo. Baca Juga Sejarah Lagu Indonesia Raya, Pertama Kali Dikumandangkan Pada Kongres Pemuda II Kisah yang ditampilkan saat itu memuat tentang ajaran-ajaran hidup yang bersumber dari kisah-kisah legenda atau sejarah Jawa. Kisah yang penuh kebijaksanaan dipadu dengan drama, musik, dan seni rupa. Pertunjukkan dibesut oleh dalang yang perannya lebih seperti sutradara, gamelan, serta para pelakon atau pemain untuk memerankan gerak tari, menjadi komponen penting dalam pagelaran ini. Dok. Padepokan Wayang Orang Bharata Potret Tunas Bharata, generasi muda penerus wayang orang Bharata Para lakon juga akan didandani menggunakan kostum dan tata rias sesuai dengan tokoh wayang yang dibawakan, keduanya menjadi identitas “fisik” untuk mencirikan masing-masing karakternya. Hingga kini, pakem-pakem tersebut masih dipertahankan tetapi beberapa mengalami penyesuaian. Namun, ada hal yang berbeda dari pagelaran wayang orang di masa lalu dan di masa kini, menurut Kenthus, salah satu perubahan yang dirasakan yakni adanya perbedaan cerita dan durasi pertunjukan. Baca Juga Bincang Redaksi Racikan Bersantap Keluarga Bupati Jawa Masa Hindia Belanda Jika dahulu wayang orang bisa berlangsung selama 6-8 jam, kini wayang orang dibuat seringkas dan sesederhana mungkin, demi mempertahankan antusiasme penikmatnya. “Durasi sekarang memang dibuat lebih ringkes, artinya cerita yang dibawakan juga lebih banyak yang sekiranya dikenal oleh masyarakat, misalnya cerita Arjuna atau Ramayana,” kata Kenthus. Tetap berjuang di tengah digitalisasi dan pandemi Kehadiran teknologi seolah tak cukup jadi tantangan bagi para pelakon wayang orang, munculnya pandemi membuat pergerakan wayang orang terpaksa meredup, di tengah perjuangan mereka yang ingin terus memperkenalkan wayang orang kepada para generasi muda. “Adanya pandemi, membuat kami jadi terpaksa tertunda berkarya, dahulu, minimal seminggu sekali di malam minggu, kami mengadakan pentas Wayang Orang,” kata Kenthus. Baca Juga Kolaborasi Usaha Rintisan Mampu Tangani Sampah Plastik Pascakonsumsi? Meski begitu, Kenthus menyebut, perjuangan melestarikan wayang orang tetap harus dilakukan. Bermodal belajar teknologi dari para generasi wayang orang muda, Kenthus dan rekan mencoba menjajal peruntungan lewat pagelaran online. “Adanya pandemi, akhirnya membuat pagelaran jadi tutup. Tapi saya dan yang lain tetap optimis untuk melestarikan budaya ini. Apalagi sekarang ada online, ini jadi peluang besar bagi kami,” ujar Kenthus. Perjuangan padepokan Wayang Orang Baratha saat melakukan streaming tak jarang mengalami banyak kendala, salah satunya yaitu menyamakan timing lagu dan gerakan para pelakonnya. Belum lagi dengan kendala lag akibat koneksi, menjadi kisah perjuangan tersendiri. “Yang saya inget itu, waktu mau streaming ternyata jaringannya engga connect, belum lagi nyamain timing dengan yang lain, terasa banget susahnya,” lanjut Kenthus. Baca Juga Manusia Berisiko Tularkan COVID-19 ke Hewan, Perlu Jaga Jarak Beruntung, di tengah kesulitan pelestarian wayang orang, Kenthus mendapat tawaran kerjasama dengan National Geographic Indonesia dan PT Pertamina Persero, untuk mengadakan pagelaran wayang orang bertajuk “Sirnaning Pageblug” – atau bermakna “Hilangnya Pandemi” pada 27 Juni 2020 silam. “Bersyukur kemarin didatengin sama National Geographic Indonesia, kami akhirnya bisa pagelaran lagi dengan sukses, kami semakin antusias untuk terus mengenalkan dan mengajak anak-anak untuk bergabung, apalagi saya sudah cukup tua, waktunya generasi muda yang melanjutkan,” kata Kenthus melalui wawancara telepon dengan redaksi National Geographic Indonesia, Kamis 29/10/2020. Sukses dengan pagelaran seni pertama, serta berhasil mengantongi rekor MURI dalam pagelaran Wayang Orang pertama secara online. Membuat paguyuban Wayang Orang Bharata tergerak untuk mengadakan kembali pagelaran wayang orang ini, salah satunya melalui pagelaran bertajuk Hanoman Duta, yang akan diselenggarakan pada Minggu, 08/11/2020 mendatang. “Pemilihan cerita ini dari kisah Ramayana, tapi bukan yang tua yang main, anak-anak generasi 5 dan 6 yang akan meramaikan. Kalau saya cuma membuat jalan cerita dan mengawasi dari jauh. Biar mereka bisa berkembang sendiri,” tutup Kenthus. Baca Juga Bincang Redaksi 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743 Tak hanya berfokus pada pelestarian wayang orang, kolaborasi National Geographic Indonesia dan PT Pertamina Persero pun turut mendukung pelestarian Tari Bengkala Bali melalui sanggar Tari Kolok serta Tari Topeng sanggar Mimi Rasinah. Ke depan, berbagai pagelaran serupa juga dapat dinikmati secara online. Untuk tetap menjaga kelestarian budaya wayang orang di tengah modernisasi, Anda bisa ikut berpartisipasi dengan cara menonton langsung pagelaran seni ini melalui laman pendaftaran Hanoman Duta. Mari bergabung dan BerbagiCerita bersama National Geographic Indonesia untuk melestarikan budaya asli Indonesia. Video Pilihan Ikuti perkembangan berita ini dalam topik PERTAMINA
Lukisan wayang di Jawa Timur pertama kali memakai media??apa media yg digunakan dlm lukisan wayang pertama kali di jawa timur lukisan wayang di jawa timur pertama kali menggunakan media lukisan wayang dijawa timur pertama kali menggunakan media?Lukisan wayang di Jawa Timur pertama kali menggunakan media apa..??? bayi kucing ia untuk pakai semen apa media yg digunakan dlm lukisan wayang pertama kali di jawa timur kalau gk salah sih kainmaaf ya jika salah lukisan wayang di jawa timur pertama kali menggunakan media kulit? iya mungkin soalnya jaman dahulu bukanya banyak yg pake media kulit lukisan wayang dijawa timur pertama kali menggunakan media? memakai media kulit .kalo gak salah Lukisan wayang di Jawa Timur pertama kali menggunakan media apa..??? Daun tal bila tak salah. Semoga berguna.
Wayang berasal dari Jawa ꦮꦪꦁ, translit. wayang, har. 'bayangan' adalah seni pertunjukkan tradisional asli Indonesia yang berasal dan berkembang pesat di pulau Jawa dan Bali. WayangꦮꦪꦁJenisTeater boneka TradisionalSeni pendahuluSuku JawaBudaya awalIndonesiaAwal berkembangHindu-Buddha Batara Guru Siwa dalam bentuk seni wayang Jawa. Wayang Bali. UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukan boneka bayangan tersohor dari Indonesia, sebuah Warisan Mahakarya Dunia yang Tak Ternilai dalam Seni Bertutur bahasa Inggris Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.[1][2][3] Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari Prasasti Balitung pada Abad ke 10. Pada tahun 903 M, prasasti yang disebut Prasasti Balitung Mantyasih diciptakan oleh Raja Balitung dari Dinasti Sanjaya, dari Kerajaan Medang Kuno. Mereka menyatakan Si Galigi Mawayang Buat Hyang Macarita Bimma Ya Kumara, yang artinya 'Galigi mengadakan pertunjukan wayang untuk dewa dengan mengambil kisah Bima Kumara'.[4] Tampaknya fitur-fitur tertentu dari teater boneka tradisional telah bertahan sejak saat itu. Galigi adalah seorang artis keliling yang diminta untuk tampil untuk acara kerajaan yang istimewa. Pada acara itu ia menampilkan cerita tentang pahlawan Bima dari Mahabharata. Mpu Kanwa, pujangga istana Airlangga dari Kerajaan Kahuripan, menulis pada tahun 1035 M dalam kakawin-nya Arjunawiwaha santoṣâhĕlĕtan kĕlir sira sakêng sang hyang Jagatkāraṇa, yang artinya, "Ia tabah dan hanya layar wayang yang jauh dari ' Penggerak Dunia'." Kelir adalah kata dalam bahasa Jawa untuk layar wayang, syair yang dengan fasih membandingkan kehidupan nyata dengan pertunjukan wayang di mana Jagatkāraṇa penggerak dunia yang maha kuasa sebagai dalang guru wayang tertinggi hanyalah layar tipis dari manusia. Penyebutan wayang sebagai wayang kulit ini menunjukkan bahwa pertunjukan wayang sudah dikenal di istana Airlangga dan tradisi wayang telah mapan di Jawa, mungkin lebih awal. Sebuah prasasti dari periode ini juga menyebutkan beberapa pekerjaan sebagai awayang dan aringgit.[5] Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah ada, seni pertunjukan ini menjadi media efektif menyebarkan agama Hindu. Pertunjukan wayang menggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata. Para Wali Songo di Jawa, sudah membagi wayang menjadi tiga. Wayang Kulit di timur, wayang wong di Jawa Tengah dan wayang golek di Jawa Barat. Adalah Raden Patah dan Sunan Kali Jaga yang berjasa besar. Carilah wayang di Jawa Barat, golek ono dalam bahasa jawi, sampai ketemu wong nya isinya yang di tengah, jangan hanya ketemu kulit nya saja di Timur di wetan wiwitan. Mencari jati diri itu di Barat atau Kulon atau kula yang ada di dalam dada hati manusia. Maksud para Wali terlalu luhur dan tinggi filosofi nya. Wayang itu tulen dari Jawa asli, pakeliran itu artinya pasangan antara bayang bayang dan barang aslinya. Seperti dua kalimah syahadat. Adapun Tuhan masyrik wal maghrib itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa jawa dulu yang artinya wetan kawitan dan kulon atau kula atau saya yang ada di dalam. Carilah tuhan yang kawitan pertama dan yang ada di dalam hati manusia. sik Demikian juga saat masuknya Islam, ketika pertunjukan yang menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang, munculah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, di mana saat pertunjukan yang ditonton hanyalah bayangannya saja. Wayang inilah yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit. Untuk menyebarkan Islam, berkembang juga wayang Sadat yang memperkenalkan nilai-nilai Islam. Perkembangan wayang pada dari abad 19 hingga abad ke 20 tidak lepas dari para Dalang yang terus mengembangkan seni tradisional ini. Salah satunya almarhum Ki H. Asep Sunandar Sunarya yang telah memberikan inovasi terhadap wayang agar bisa mengikuti perkembangan zaman dan dikenal dunia. Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka. Namun pertunjukan boneka Wayang di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003. Tak ada bukti yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu menyebar di Asia Selatan. Diperkirakan seni pertunjukan dibawa masuk oleh pedagang India. Namun, kegeniusan lokal dan kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu menyatu dengan perkembangan seni pertunjukan yang masuk memberi warna tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia. Ketika misionaris Katolik, Bruder Timotheus L. Wignyosubroto, FIC pada tahun 1960 dalam misinya menyebarkan agama Katolik, ia mengembangkan Wayang Wahyu, yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab.
Wayang wong wayang orang adalah salah satu teater Jawa. Sumber cerita wayang wong tidak jauh berbeda dengan wayang kulit. Beberapa hal yang berkaitan dengan Wayang wong seperti dalang, panggung, kostum, dan gamelan. Asal Mula Wayang Wong Pada tahun 1731 salah seorang raja Jawa yaitu Mangkunegaran menciptakan wayang dengan bentuk lain. Wayang wong adalah wayang yang semua tokohnya diperankan oleh manusia dengan mengenakan perhiasan dan busana yang dibuat mirip dengan busana yang dikenakan para tokoh wayang kulit. Dalam mengadakan pertunjukan juga seperti wayang kulit, yaitu mengambil cerita dari Serat Ramayana dan Mahabarata. Pada waktu mengadakan pagelaran para pemain selain aktif menari juga berdialog saat terjadi percakapan antar tokoh. Grup Wayang Wong Wayang wong atau wayang orang adalah salah satu jenis teater tradisional klasik yang merupakan gabungan antara seni drama dengan pertunjukan wayang kulit yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Lakon yang dipentaskan pada pertunjukan wayang wong bersumber pada cerita wayang kulit atau wayang purwa. Tata busana dan wujud fisik dan para penari mengikuti gaya busana dan wujud fisik dari ikonografi boneka-boneka wayang kulit, kecuali rias wajah yang lebih sederhana dibandingkan dengan wayang kulit. Kesenian wayang wong lahir dan berkembang di lingkungan keraton dan kalangan bangsawan Jawa. Mula-mula wayang wong muncul di Surakarta selanjutnya berkembang di Yogyakarta. Pertunjukan Seni Wayang Wong Orang Sebenarnya wayang wong atau wayang orang merupakan bentuk perwujudan dari wayang purwa, yang membedakan adalah peraganya. Kalau wayang purwa peraganya adalah wayang dari kulit, kalau wayang wong diperagakan oleh manusia. Apabila dibandingkan busana antara wayang kulit dengan busana wayang wong adalah hampir sama, dapat dikatakan bahwa tata busana wayang wong lebih sederhana bila dibandingkan tata busana wayang kulit; Tata busana wayang wong baru bisa mencapai bentuknya yang standar atau baku sekitar abad XX saat pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII tahun 1921-1939. Pada waktu Hamengku Buwono VIII berkuasa, beliau menyuruh seniman serba bisa, yaitu Kanjeng Jayadipura, untuk menciptakan busana wayang wong yang indah dan sesuai dengan karakter pemainnya. Kesenian wayang wong antara Surakarta dan Yogyakarta mempunyai gaya dialog yang berbeda. Dialog pada wayang wong Surakarta bersifat realistis sesuai dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, intonasinya pun juga lebih bervariasi. Gaya dialog Yogyakarta sangat monoton. Wayang wong yang semula dipentaskan saat seseorang punya hajatan atau nazar, lama-lama dikomersilkan. Pada tahun 1902 pertunjukan wayang wong secara komersial dengan cara menjual karcis. Salah satu grup wayang wong yang terkenal adalah Griya Budaya Titah Nareswari GBTN dari Solo. Grup GBTN banyak menggarap sebuah pertunjukan dengan hal-hal yang baru, baik dari penggarapan tari, anta wacana, iringan musik, narasi dalang, maupun tema lakon. Banyaknya inovasi pertunjukan dikarenakan adanya gairah muda dari seniman-seniman yang terlibat. Nama-nama yang cukup terkenal sebagai penyelenggara pementasan Wayang Wong, seperti B. Subono, Ali Marsudi sutradara, Anggono W. Kusumo dan Widjanarko penata Tari, dan Edi Sulistiono dalang. Lakon-lakon yang diambil dari epos Mahabarata, misalkan Srikandi Maguru Manah dan Bangun Taman Maerokoco ditampilkan dengan gaya yang apik, penuh kreativitas dari para pemain. Suasana pertunjukan pun juga disesuaikan dengan zamannya, biasanya tokoh cakil hanya satu, oleh Ali Marsudi cs, cakil dihadirkan empat sekaligus, dialognya pun dibuat sedemikian rupa sehingga terasa tidak membosankan. Begitu pula dengan narasi dalang tidak terlalu panjang lebar bahkan kadang narasi dalang hanya dengan sebuah sulukan. Wayang wong mencapai masa kejayaan saat Sastrosabdo mendirikan perkumpulan wayang wong yang bernama ”Ngesti Pandhawa” di Semarang. Dengan menampilkan beberapa inovasi yaitu dengan permainan atau semacam trik, misalkan peristiwa-peristiwa yang aneh atau ajaib menjadi nyata. Para penonton sangat antusias melihat pertunjukan wayang wong ”Ngesti Pandhawa” yang sangat indah dan profesional. Grup Ngesti Pandhawa benar-benar mampu merebut perhatian penonton. Pertunjukan wayang wong didahului dengan tari-tarian, sebagai pertunjukan tambahan. Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang wong secara lengkap dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang. Dengan perincian sebagai berikut 2 orang sebagai waranggana; 12 orang sebagai penabuh gamelan; 1 orang sebagai dalang; dan 20 orang sebagai pemain wayang wong. Poster Pertunjukan Seni Wayang Wong Sriwedari Tempat Pertunjukan Wayang Wong Pada tahun 1899 Pakubuwono X membangun taman kota yang bernama taman Sriwedari. Saat peresmian taman Sriwedari itu diadakan berbagai pertunjukan kesenian Jawa, baik seni rakyat maupun seni klasik. Salah satu kesenian klasik yang dipentaskan di acara peresmian itu adalah wayang wong. Dan sejak saat itu kesenian wayang wong selalu mengisi berbagai acara di Sriwedari, yang merupakan taman keraton Surakarta. Lakon wayang di Sriwedari biasanya mementaskan lakon yang bersifat pakem. Pada mulanya pertunjukan wayang wong di Sriwedari tidak bersifat komersial. Namun, pada suatu saat, ada seorang warga keturunan yang pertama kali menjual karcis dipertunjukkan wayang wong, yaitu dengan cara menjual karcis. Sejak saat itu, pertunjukan wayang wong mengalami masa keemasan. Bila ada pementasan wayang wong, tempat-tempat pertunjukan penuh oleh pengunjung. Hal ini mengakibatkan secara finansial para pemain wayang wong secara ekonomi berkecukupan. Tipe-Tipe Tata Rias Wayang Wong Unsur yang sangat penting dalam pertunjukan teater Jawa adalah dialog para pemain. Selanjutnya, unsur yang lain yang sangat mendukung adalah tata busana dan tata rias. Ada tujuh tipe tata rias dalam seni wayang wong, yaitu a. Tipe wanita yang rendah hati, b. Tipe wanita yang dinamis, c. Tipe putra yang halus dan rendah hati, d. Tipe putra halus dan dinamis, e. Tipe putra gagah yang rendah hati, f. Tipe putra gagah yang dinamis, g. Tipe punakawan atau abdi dalem. Sedangkan untuk peran raksasa dan kera dengan mengenakan topeng. Wayang wong mempunyai standar yang ketat mengenai kostum atau tata busana, karena kostum tersebut mempunyai makna simbolis. Adegan Pertunjukan Seni Wayang wong Lakon yang dimainkan ada dua macam, yakni lakon pakem dan lakon carangan. Lakon pakem adalah lakon yang mengambil sumber cerita dari cerita Mahabarata dan Ramayana, urutan adegan yang ditampilkan tepat sesuai dengan pakem atau urutan yang ada, kostum yang dikenakan standar, indah, dan rapi. Sedangkan lakon carangan adalah mengambil sumber cerita dari karangan yang kadang-kadang mengambil sebagian dari cerita Mahabarata dan Ramayana yang diramu dengan karangan sendiri. Atribut Wayang Wong Ada beberapa hiasan yang dikenakan oleh para pemain wayang wong, diantaranya Garuda Mungkur, Makutha, dan Praba. Hiasan garuda mungkur dikenakan di bagian belakang dari hiasan penutup kepala tokoh-tokoh tertentu, fungsi garuda mungkur adalah sebagai atribut dari para raja dan pangeran yang berwatak baik pada tokoh cerita Mahabarata maupun Ramayana yang bersifat melindungi. Kanjeng Jayadipura, perancang tata busana Yogyakarta mengganti nama garuda mungkur menjadi bledhegan atau gelapan. Dahulu banyak orang Jawa percaya bahwa bledheg memanifestasikan diri sebagai kepala raksasa kala yang berterbangan di udara mencari mangsanya di dunia. Hiasan yang lain adalah Jamang mangkara atau jamang sungsun dan sumping mangkara. Sumping mangkara adalah hiasan telinga dengan motif makara. Mangkara artinya sama dengan makara bahasa Jawa Kuno, kalung, sabuk, timang atau pengencang sabuk, kampuh atau dodot yaitu kain lebar dan panjang yang dikenakan sebagai busana bagian bawah, uncal wastra atau ujung bagian dodot sebagai pengikat, badhong atau hiasan di bawah perut, uncal kencana yaitu hiasan kain kecil yang berjuntai ke bawah, kunca yakni bagian ujung dari dodot, kelat bau atau gelang tangan, gelang, gelang kaki atau kroncong, celana sampur, dan wangkingan atau keris. Sebagai gantinya dodot para penari wayang wong mengenakan nyamping supit urang atau nyamping seredan sesuai dengan karakter yang dibawakan.
lukisan wayang di jawa timur pertama kali menggunakan media